Sabtu, 02 Agustus 2014

Filled Under:

Pengelolaan Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional Bank Mandiri




Pengelolaan Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional Bank Mandiri Pengelolaan Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional Bank Mandiri


Pengelolaan Risiko Likuiditas


Risiko likuiditas dapat terjadi apabila Bank tidak mampu menyediakan likuiditas dengan harga wajar yang akan berdampak kepada profitabilitas dan modal Bank. Likuiditas Bank dipengaruhi oleh struktur pendanaan, likuiditas aset, kewajiban kepada counterparty, dan komitmen kredit kepada debitur. Risiko likuiditas Bank diukur melalui beberapa indikator, antara lain primary reserve ratio (rasio Giro Wajib Minimum dan Kas), secondary reserve (cadangan likuiditas), dan loan to deposit ratio (LDR). Pengendalian risiko likuiditas dilakukan dengan menetapkan limit – limit yang mengacu pada ketentuan regulator maupun internal.


Per 31 Desember 2013, posisi GWM Primer Rupiah adalah sebesar 8,00% dari total dana pihak ketiga Rupiah, sedangkan GWM Sekunder Rupiah adalah sebesar 18,08% dari total dana pihak ketiga Rupiah. Sementara untuk Valuta Asing, Bank memelihara GWM sebesar 8,10% dari total dana pihak ketiga Valuta Asing. Realisasi GWM Rupiah dan Valuta Asing tersebut sesuai ketentuan regulasi dan limit internal. Bank memiliki batasan cadangan likuiditas dalam bentuk limit safety level, yaitu proyeksi cadangan likuiditas Bank untuk 3 bulan ke depan. Per 31 Desember 2013, cadangan likuiditas berada di atas safety level, sedangkan LDR Bank sebesar 82,97%.


Kondisi likuiditas Bank di masa mendatang diproyeksikan melalui metodologi liquidity gap, yang merupakan maturity mismatch antara komponen-komponen asset dan liability (termasuk off-balance sheet) yang disusun ke dalam periode waktu (time bucket) berdasarkan contractual maturity ataupun behavioral maturity. Per 31 Desember 2013, proyeksi likuiditas Bank sampai dengan 12 bulan ke depan berada dalam posisi surplus yang optimal.


Untuk mengetahui dampak perubahan faktor pasar maupun faktor internal pada kondisi ekstrim (krisis) terhadap kondisi likuiditas, Bank melakukan stress testing risiko likuiditas secara berkala. Bank memiliki Liquidity Contingency Plan (LCP) yang meliputi strategi pendanaan antara lain pinjaman pasar uang, repo, pinjaman bilateral, FX swap, penjualan surat berharga, maupun strategi pricing. Dalam LCP, penetapan kondisi likuiditas dan strategi-strategi pendanaan telah mempertimbangkan kondisi internal dan eksternal.


Dalam rangka mengantisipasi dampak krisis di kawasan Eropa terhadap kondisi likuiditas dan bisnis Bank baik secara langsung maupun tidak langsung, Bank telah menetapkan pengaktifan Business Command Center (BCC) guna mengelola dan memantau secara intensif kondisi likuiditas dan Loan to Deposit Ratio (LDR) valuta asing. Dalam menjalankan fungsinya, BCC mengelola kecukupan likuiditas dan LDR valas melalui penyediaan likuiditas valas untuk pencairan kredit secara selektif dan memonitor pergerakan sumber dana valas secara harian. Dengan demikian cadangan likuiditas valas dapat dipertahankan diatas batas minimal cadangan likuiditas dan batasan LDR. Disamping itu, BCC juga mengkoordinir program peningkatan sumber dana valas yang murah dan stabil.


Untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi ekonomi yang kurang stabil, baik karena kondisi krisis di kawasan Eropa maupun karena berbagai isu di dalam negeri, BCC juga memonitor indikator – indikator eksternal diantaranya: nilai tukar USD/IDR, Credit Default Swap (CDS) 5 tahun Indonesia, Spread antara ROI 5 tahun dibandingkan UST 5 tahun, Index Harga Saham Gabungan (IHSG), Suku bunga Rupiah dan USD interbank, Non Delivery Forward (NDF) USD/IDR 1M serta informasi pasar yang terkini. Semenjak pengaktifan BCC tersebut, cadangan likuiditas valas Bank dapat dikendalikan diatas batasan dan realisasi LDR Valas pada level maksimum 85%.


Pengelolaan Risiko Operasional


Risiko operasional dapat disebabkan karena ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya faktor eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.


Pengelolaan risiko operasional yang efektif dapat menekan kerugian akibat risiko operasional. Kerangka kerja Operational Risk Management (ORM) mengacu pada regulasi Bank Indonesia, Basel II dan ketentuan internal Bank yang berlaku. Pada saat ini, Bank telah memiliki kebijakan manajemen risiko yang mencakup ORM yaitu Kebijakan Manajemen Risiko Bank Mandiri (KMRBM), dan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang berisi teknis pengelolaan risiko operasional baik aspek governance, prosedur maupun sistem pelaporan.


Selain itu, dalam rangka mendukung inovasi Bank untuk memenuhi kebutuhan Nasabah atas produk dan layanan Bank, maka disusun pedoman mengenai pengelolaan risiko dan langkah-langkah mitigasi pada Produk atau Aktivitas Baru (PAB), yaitu Standar Pedoman Operasional (SPO) PAB bertujuan untuk menetapkan standarisasi dalam pengelolaan risiko PAB secara end to end dan menghasilkan produk atau aktivitas yang handal serta dapat meningkatkan keuntungan, corporate image, dan kualitas layanan Bank. Sebagai upaya senantiasa melaksanakan prinsip kehati-hatian dan penerapan Good Corporate Governance, maka dalam SPO PAB dirumuskan metodologi assessment terhadap 8 (delapan) jenis risiko. Hal ini membuat seluruh produk atau aktivitas baru yang diterbitkan telah memenuhi ketentuan regulator.


Dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengelolaan risiko operasional, Bank sudah melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu alignment metodologi risiko operasional dengan metodologi Risk Based Audit melalui sinkronisasi risk library; menyediakan media komunikasi dengan Direktur Utama yang dinamakan ”Letter to CEO” dan berfungsi sebagai Whistle Blowing System; dan melakukan implementasi perangkat yang dinamakan Operational Risk Management Tools (ORM Tools).


ORM Tools yang dipergunakan untuk pelaksanaan ORM adalah sebagai berikut :


A. Risk & Control Self Assessment (RCSA) :


RCSA dipergunakan untuk identifikasi dan menilai risiko yang melekat pada aktivitas, dan menilai kualitas kontrol.


B. Mandiri Form Operational Risk System (M-FORs)/ Form Risiko Operasional :


Bank menggunakan M-FORs untuk mencatat kerugian-kerugian akibat risiko operasional yang terjadi pada masing-masing unit kerja.


C. Key Indicator (KI) :


KI merupakan indikator kuantitatif yang dimanfaatkan untuk memberikan indikasi tingkat risiko melekat pada key process dalam satu tahapan unit bisnis/supporting atau end-to-end processing.


D. Issue & Action Management (IAM):


IAM merupakan perangkat untuk memasukkan issue/permasalahan terkait risiko operasional. Dari issue/permasalahan tersebut dianalisa penyebabnya dan ditetapkan action plan serta dilakukan monitoring pelaksanaan action plan oleh unit kerja.


Dalam hal pengelolaan risiko operasional, Unit Risk Management berperan sebagai second line of defense dan Internal Audit sebagai third line of defense. Sedangkan Unit kerja sebagai risk owner merupakan first line of defense yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan risiko operasional dari masing-masing unit kerja Bank.


Sebagai output dari proses Pengelolaan Risiko Operasional, unit kerja menghasilkan profil risiko operasional yang menggambarkan eksposur risiko operasional unit kerja yang akan dijadikan dasar dalam pembuatan profil risiko operasional Bank. Laporan profil risiko operasional tingkat korporasi (bankwide) yang sudah di-review oleh unit Internal Audit dipresentasikan kepada Dewan Komisaris dan dilaporkan kepada Bank Indonesia secara periodik.


Untuk pelaporan kecukupan modal risiko operasional ke Bank Indonesia, Bank menggunakan Pendekatan Indikator Dasar, seperti terlihat dalam tabel-tabel berikut:


Tabel 8.1.a. Pengungkapan Kuantitatif Risiko Operasional – Bank Secara Individual


Pengungkapan Kuantitatif Risiko Operasional Bank Mandiri Pengungkapan Kuantitatif Risiko Operasional Bank Mandiri


Pengungkapan Kuantitatif Risiko Operasional Bank Mandiri Bank Secara Individual Pengungkapan Kuantitatif Risiko Operasional Bank Mandiri – Bank Secara Individual


Implementasi Manajemen Risiko Operasional


Strategi kunci yang dipedomani dalam manajemen risiko operasional terkait Risk Management, Audit & Compliance adalah ”Melanjutkan Program-program untuk antisipasi Fraud, termasuk mengoptimalkan First Defense, Second Defense dan Third Defense”. Adapun Implementasi Manajemen risiko difokuskan pada 4 aspek penguatan yaitu:


  • Program Risk Awareness, yakni program budaya spesifik yang dimiliki setiap unit terkait terkait dengan pengenalan, pemahaman, dan mitigasi risiko operasional.

  • Laporan Profil Risiko, yakni laporan wajib dari unit pengelola risiko operasional kepada pembina sistem manajemen resiko operasional secara rutin, minimal secara triwulanan atau dengan frekuensi yang lebih pendek jika diperlukan (ad-hoc). Penyusunan Laporan Profil Risiko secara rutin dimaksudkan agar profil risiko operasional setiap Unit Pengelola Risiko Operasional selalu ter-update dan terjaga.

  • Forum MRO, yakni suatu forum yang digunakan untuk membahas permasalahan terkait risiko operasional. Forum MRO ini wajib untuk dilaksanakan minimal sebulan sekali. Jalannya forum tersebut dilaporkan ke pembina sistem manajemen resiko operasional dalam bentuk minute of meeting.

  • Data Quality pada ORM Tools, berupa pengelolaan dan pengkinian data/informasi yang ada pada ORM Tools (iMORs) meliputi RCSA, KI, IAM, dan MFORs. Data yang diinput di iMORS merupakan dasar penyusunan Profil Risiko Unit Kerja dalam rangka perhitungan Tingkat Kesehatan Bank.

Dalam rangka tindak lanjut implementasi, maka dijalankanProgram Penguatan MRO bagi seluruh unit kerja sebagai kelanjutan “No Surprise Program”. Tujuan pelaksanaan Program Penguatan MRO di masing-masing unit kerja adalah:


  1. Agar lebih memahami Risiko Operasional Utama yang melekat pada produk dan aktivitas Unit Kerja, dan cara pengendaliannya.

  2. Agar lebih memahami bahwa serangkaian inisiatif seperti: Pelaksanaan Forum MRO, Risk Awareness Program dan Letter to CEO (LTC) dapat menunjang efektifitas Pengelolaan Risiko Operasional.

  3. Agar DCOR dan RBC sebagai second line of defense memahami risiko utama yang ada pada unit yang disupervisi, sehingga lebih fokus dalam melaksanakan pengawasannya.

Strategi Anti Fraud, Sistem Pemantauan Fraud, dan Fraud Respon Plan


Sejalan dengan SE BI No.13/28/DPNP mengenai Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum, Bank Mandiri telah melakukan berbagai upaya untuk memantau dan memitigasi risiko fraud melalui penerapan 4 pilar yaitu: (1) Pencegahan; (2) Deteksi; (3) Investigasi, Pelaporan dan Sanksi; serta (4) Pemantauan, Evaluasi dan Tindak Lanjut, dimana dalam implementasinya melibatkan seluruh line of defense.


Untuk mendukung implementasi strategi anti fraud, khususnya dalam pilar deteksi, telah dikembangkan early detection system yang dapat mendeteksi secara dini transaksi, proses, dan aplikasi yang bersifat anomali dan memiliki potensi fraud risk. Sistem tersebut secara otomatis akan memberikan alert terhadap transaksi yang memiliki risiko fraud. Tindak lanjutnya adalah proses investigasi data alert, baik secara on-desk maupun onsite review, untuk memastikan apakah benar telah terjadi kejadian fraud sehingga Bank dapat dengan cepat melakukan langkah mitigasi dan penanganan yang cepat, akurat, dan terencana (fraud respon plan). Mengingat proses pengembangan deteksi fraud merupakan proses panjang dan berkelanjutan, maka manajemen akan memfokuskan pada bisnis yang memiliki fraud risk yang signifikan. Untuk itu bisnis yang diutamakan adalah:


a) Segmen Retail Payment & Deposit (Cabang, EDC/Merchant, dan E-Channel)


b) Segmen Retail Financing (Mikro, Kartu Kredit, Consumer Loan)


c) Segmen Wholesale (Business Banking s/d 2 Miliar) Fraud Control System yang saat ini telah dimiliki antara lain:


  1. Fraud Control System Credit Card

  2. Fraud Control System Debit Card

  3. Merchant Monitoring System

  4. Internet & Mobile Banking Monitoring System

  5. Anti Fraud Application System

  6. Early Detection System Mikro

Fraud Control System yang saat ini sedang dan akan dikembangkan antara lain:


  1. Fraud Detection System for Branch

  2. Fraud Control System untuk Business Banking

 


Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme


Untuk mencegah dan memitigasi risiko akibat transaksi pencucian uang dan pendanaan terorisme, Bank telah menerapkan proses due diligence dan pengelolaan risiko terhadap nasabah mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia mengenai Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme. Proses due diligence dan pengelolaan risiko ini didasarkan pada prinsip risk-based approach yang mengidentifikasi, mengklasifikasi, memantau dan mengelola risiko transaksi oleh nasabah atas dasar karateristik produk, nasabah dan geografis (negara, cross-border).


Business Continuity Management


Untuk menjamin kelangsungan operasional Bank dalam kondisi bencana, Bank memiliki suatu rencana komprehensif secara terdokumentasi dan teruji, yang berisi langkah-langkah yang harus diambil sebelum, selama dan setelah terjadinya suatu keadaan bencana. Kebijakan dan prosedur Bank dalam menjamin kelangsungan operasional bisnis diatur dalam Business Continuity Management (BCM) yang mencakup Emergency Response Plan (ERP), Disaster Recovery Plan (DRP) dan Business Continuity Plan (BCP). ERP adalah panduan yang digunakan untuk menjamin keamanan dan keselamatan jiwa pegawai dalam kondisi bencana, DRP adalah rencana kerja untuk persiapan & pemulihan dari bencana yang berdampak kepada layanan Teknologi Informasi, sedangkan BCP adalah prosedur & informasi yang dibuat untuk menjaga kelangsungan operasional suatu unit kerja.


Sumber http://www.bankmandiri.co.id Laporan Tahunan 2013 bagian









Pengelolaan Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional Bank Mandiri

0 komentar:

Posting Komentar